Sabtu, 29 Mei 2010

Memanusiakan Manusia atau Memanusia-siakan Manusia

Sobatku semuanya, semalam saya merenungkan sebuah hal yang sering sahabat saya sampaikan. Terasa sekali nurani saya bergetar ketika sahabat saya menyampaikan Sudahkah pendidikan kita memanusiakan manusia? Atau malah hanya memanusia-siakan manusia? Kalau sudah, kenapa masih saja terjadi tindas-menindas, perkelahian antarpelajar hingga mahasiswa, masyarakat atau mahasiswa dengan aparat di sejumlah daerah, antar warga rebut urusan tawuran yang dikarenakan masalah sepele, ribut beberapa partai politi mulai dari berebut nomor urut caleg, hingga kepengurusan partai. Sekarang jalan pintas adu fisik seolah-olah hanya menjadi tontonan biasa. Dan sikap berdialog dan berargumentasi untuk mencapai kata mufakat sudah terlupakan. Sebuah sifat merasa sebagai ”sesama manusia” sudah terabaikan.


Sebenarnya ada kesalahan di sisi mana semua ini???


Konflik memang kadang terjadi tetapi konflik juga memang harus dikelola dan dimanage dengan baik dan bijak, bukan dihindari atau malah ditakuti. Seolah-olah kesadaran sebagai makhluk sosial kita ini perlu direfleksikan kembali, modal sosial berupa gotong-royong, tolong menolong dan sebagainya, bukan dikotak-kotakkan pada kegiatan ”ritual budaya”atau "hari-hari besar dalam agama saja". Seolah begitu manis dan indah di tempat ibadah. Belum jauh kaki melangkah, sikap konsistensi akibat dari keimanan hilang begitu saja. Nilai kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa Alloh SWT, tidak membekas. Terkadang bersikap memanusiakan manusia, di lain waktu dan tempat bersikap memanusia-siakan manusia.


Selain itu sekarang paham kapitalisme juga telah menggeser nilai-nilai kepercayaan dan rasa hormat terhadap manusia. Nilai trust atau faktor jaminan kepercayaan manusia selalu diukur dengan seberapa banyak materi dan benda bernilai ekonomi yang ia miliki dan kuasai. Tidak hanya di ranah bisnis atau usaha, kini juga telah merasuk ke aspek sosial kemasyarakatan. Aspek moralitas dan etika jauh terpinggirkan oleh cara-cara yang tidak adil dan culas alias curang, dan tindakan yang menafikan harkat kemanusiaan.


Kita semua sering mendengar kalau ada pepatah mengatakan bahwa tiap-tiap manusia adalah khalifah atau pemimpin. Bagaimana ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apakah ia bisa bersikap adil atau sudah amanah terhadap dirinya sendiri, karena setiap manusia harus menyadari bahwa ia makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

Terlepas dari sikap atau perilaku positif atau negatif dalam hidupnya, manusia harus menyadari ada sebuah konsekuensi dari sikapnya selama ini. Dari sikap, seseorang bisa membuat orang lain atau lingkungannya diuntungkan dan atau dirugikan. Tidak jarang pula, dari sikap seseorang yang dipahami dan diyakini masyarakat sudah dianggap melanggar asusila atau norma-norma dan budaya tertentu. Atau hukum positif yang berlaku bisa menimbulkan perselisihan dan gejolak di masyarakat.

Dalam skala kecil pun demikian, misalkan dalam rumah tangga, dibutuhkan kepemimpinan. Walau selama ini kepala rumah tangga identik “dijabat” oleh ayah atau bapak (suami), harus dipahami bahwa sebenarnya peran ibu atau mama, atau siapa saja yang dalam rumah tangga tersebut yang mempunyai rasa kepedulian dan tanggung jawab menjaga harmonisasi dan kerukunan dalam rumah tangganya, layak disebut sebagai pemimpin. Kepempinan menjadi sebuah kebutuhan, tidak hanya dalam skala kecil rumah tangga, terlebih dalam sebuah organisasi atau lembaga di masyarakat, pemerintahan, keagamaan, dunia usaha, dan sebagainya.

Ada tujuan tertentu yang ingin dicapai atau dituju, bagaimana cara merealisasikannya, siapa yang berperan dan bertanggungjawab, siapa harus berbuat, kapan, di mana, ada kesepakatan bersama yang harus ditaati, dihormati dan dijalankan.

Dari sikap keteladanan seseorang yang membawa kebaikan di lingkungannya, sangatlah pantas dan layak disebut sebagai pemimpin, dan idealnya landasan dan dasar kepemimpinan atau orang yang dipercaya sebagai pemimpin berbasis moralitas, punya jiwa kerelawanan, mengerti arti dan makna manusia, selain harus punya kemampuan atau kapasitas memimpin dan menjalankan roda organisasi.

Kepercayaan dan rasa hormat bisa tumbuh berkembang seiring dengan nilai-nilai keteladanan yang ditanamkan oleh pemimpin. Ini akan membawa dampak positif bagi organisasi atau lembaga tersebut. Berkembangnya tata nilai dalam kelompok tersebut menjadi budaya organisasi serta melembaga, akan berdampak bagi pemberi amanah atau bagi masyarakat yang mempercayakan keputusan pilihannya, sehingga timbul rasa kepemilikan, tanggung jawab untuk membesarkan organisasi, dan seterusnya.

Adanya jiwa saling menghormati, saling menghargai baik pempimpin maupun yang dipimpin. Pemimpin yang tidak dihormati atau tidak bisa menghormati dan menghargai, akan mengurangi rasa kepercayaan (legitimasi) dan hormat orang yang dipimpinnya. Dibutuhkan dan dibiasakan rasa setia kita kepada konsistensi sikap tunggal, tidak bersikap mendua yang kadang bersikap baik, kadang bersikap kurang terpuji karena, kita adalah manusia, bukan ular berkepala dua.

Ketika sikap mendua selalu menyelimuti pikiran dan diikuti, kita kehilangan kedalaman dan makna sebagai individu wujud dari makhluk sosial. Berarti, kita berhenti berpikir dan berhenti berusaha untuk berubah. Dan, yang paling penting adalah kita kehilangan rasa persaudaraan dengan orang lain. Kehilangan rasa persaudaraan dan melupakan ”memanusiakan manusia” inilah yang dapat menimbulkan konflik. Tapi, sayangnya nilai sepenting ini sering terlupakan. Lebih parah lagi, penyelesaian konflik tidak dengan menggali dan mengkaji akar persoalan.

Hubungan sebab-akibat tidak dipahami atau sengaja dibiarkan. Peran media juga terkadang hanya membaca di permukaan, dimana sorot kamera lebih mengedepankan aspek akibat daripada sebab!

Dibutuhkan keteguhan dan komitmen agar nurani kita tetap terjaga, tidak mudah tergoda ataupun terjebak untuk menapak kehidupan yang lebih beradab. "Menjadi orang penting memang baik, tetapi lebih penting menjadi orang baik". Pangkat, jabatan, kedudukan dan sejenisnya bisa kita syukuri sebagai anugerah dari Tuhan Yang Kuasa, namun kita harus sadar dan ingat nilai yang terkandung substansi dan filosofi di balik kesemua itu, yakni sebagai sebuah amanah. Pemimpin dan manusia yang ideal tidak hanya cerdas, tetapi juga ”waras”, paham dan mau memanusiakan manusia. Bukan memanusia-siakan manusia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar