Sabtu, 29 Mei 2010

Tipe Manusia, Gaya Hidup dan Harta

Assalamu’alaikum sobat semua,,,
Naik naik ke puncak gunung
Tinggi tinggi sekali
Kiri kanan ku lihat saja,,, he,,, (nyanyinya dah ngawur)
Ya sambil tengak tengok kanan kiri depan belakang mikir mau posting apa, terbesit karena kita sobat semua merupakan makhluk bernamakan manusia (adakah yang bukan manusia???), pengin rasanya cahaya nuraniku mengungkapkan luapan laharnya,,, (seakan gunung slamet aja neh). Maksudnya tuh bernafsu mensharingkan dan mengajak sobat semua kira-kira kita ini termasuk tipe manusia yang seperti apa ya??? Kehidupan kita seakan penuh dengan gaya hidup dan sedikit-sedikit duit, sedikit-sedikit harta yang ada dalam pikiran kita. Yah,,, begitulah manusia,,, he,,, (yakin tuh???).
Oke Sobat,,, dalam kehidupan bangsa manusia seperti kita ini. Ada empat tipe manusia berkaitan denganharta dan gaya hidupnya :
1. Manusia yang berharta dan memperlihatkan hartanya
Kalau tipe manusia seperti ini biasanya gaya hidupnya serba wah wah wah dan mewah, Ya mungkin untung perilakunya ini masih sesuai dengan penghasilan dan isi dompetnya, sehingga secara kantong sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Tapia pa iya sih,,, Mungkin tipe manusia seperti akan menjadi hina kalau bersikap sombong dan merendahkan orang lain yang dianggap tak selevel dengan dia. Apalagi kalau bersikap kikir dan tidak mau membayar zakat atau mengeluarkan sedekah. Tapi Sebaliknya, ia akan terangkat kemuliaannya dengan kekayaannya itu jikalau ia rendah hati dan dermawan.
2. Manusia yang tidak berharta banyak, tapi ingin kelihatan berharta.
Lha ini kayaknya banyak neh yang tipe-tipe manusia seperti ini. He,,, Yang mungkin sebenernya gaya hidup mewahnya sebenarnya diluar kemampuannya, hal ini karena ia ingin selalu tampil lebih daripada kenyataan. Jadi tipe manusia seperti ini suka tampil hanya seakan akan. Yang penting gayanya deh,,,(Hayo,,, siapa tuh???). Jadi ya tidaklah aneh bila keadaan kantong dan isinya lebih besar pasak daripada tiang. Dan besar kemungkinan, manusia seperti ini benar-benar tahu seni menyiksa diri. Hidupnya amat menderita, dan sudah barang tentu ia menjadi hina dan bahkan menjadi bahan tertawaan orang lain yang mengetahui keadaan yang sebenarnya.
3. Manusia tak berharta tapi berhasil hidup bersahaja.
Hmmm,,, Tipe manusia seperti lumayan memiliki tingkat kesabaran yang tinggi. Dan biasanya manusia seperti ini tidak terlalu pening dalam menjalani hidup karena tak tersiksa oleh keinginan, tak ruwet oleh pujian dan penilaian orang lain, kebutuhan hidupnya pun sederhana saja. Dia akan hina kalau menjadi beban dengan menjadi peminta-minta yang tidak tahu diri. Namun tetap juga berpeluang menjadi mulia jikalau sangat menjaga kehormatan dirinya dengan tidak menunjukan berharap dikasihani, tak menunjukan kemiskinannya, tegar, dan memiliki harga diri.
4. Manusia yang berharta tapi hidup bersahaja.
Hayo sobat,,, Adakah tipe manusia seperti ini??? Kalau menurut saya, Inilah orang yang mulia dan memiliki keutamaan. Walaupun mereka sangat mampu membeli apapun yang mereka inginkan namun berhasil menahan dirinya untuk hidup seperlunya. Sehingga hal ini akan berdampak dalam hidupnya tidak berbiaya tinggi, tidak menjadi bahan iri dengki orang lain, dan tertutup peluang menjadi sombong, serta takabur plus riya. Dan yang lebih menawan akan menjadi contoh kebaikan yang tidak habis-habisnya untuk menjadi bahan pembicaraan. Memang aneh tapi nyata jika orang yang berkecukupan harta tapi mampu hidup bersahaja (tentu tanpa kikir). Sungguh ia akan punya pesona kemuliaan tersendiri. Pribadinya yang lebih kaya dan lebih berharga dibanding seluruh harta yang dimiliki.

Tips Menjadi Pribadi Yang Bijak dan Bernurani

Yaa Ayyuhan naasu innaa khalaqnaakum min dzakariw wa untsa wa ja'alnaakum syu'uubaw waqabaa-ila li ta'aarafuu inna akramakum'indallahi atqaakum innallaha 'aliimun khabiir (Qs.Al-Hujuraat ayat 13).
"Hai sekalian manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti".

Ketika ketika melihat dan memaknai ayat di atas adalah Orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling takwa. dan salah satu ciri ketakwaan seseorang kepada Allah adalah memiliki sifat bijak dan bernurani dalam kehidupannya.
Nah yang menjadi pertanyaan pertama ketika kita bercermin dan merefleksikan diri kita adalah apakan diri ini sudah bijak dan bernurani???
jika jawabannya adalah "belum" maka marilah kita jadikanlah hal ini sebagai sebuah cita-cita dan impian kita semua.
Ketika pada masa sekarang sedang ramai masalah pemilu 2009 yang semua di antara kita banyak yang mengatakan rindu pemimpin yang bijak dan bernurani. jika kita mengatakan bahwa bangsa ini krisis keteladanan, maka ya jangan mencari teladan karena susah untuk ditemukan. Untuk itu yang paling mudah adalah menjadikan kita sebagai tauladan paling tidak untuk keluarga, janganlah menuntut untuk mendapatkan presiden yang bijak karena akan susah untuk didapat. (Ya ngga sobat?) karena itu yang dapat kita lakukan adalah menuntut diri kita sendiri. Orang yang bijaksana dan bernurani itu merupakan suatu keindahan tersendiri. Ya ini hanya sekedar contoh saja, misalkan ketika menjadi seorang guru yang bijak dan bernurani biasanya sangat disukai oleh murid-muridnya. Seorang pemimpin yang bijak dan bernurani biasanya ia disegani oleh kawan maupun lawan, jika orang tua bijaksana dan bernurani maka akan dicintai oleh anak-anaknya.
Ud'u illa sabiili rabbika bil hikmati wal mau 'izhatil hasanati, wa jaadilhum billatii hiya ahsanu inna rabbaka huwa'alamu bi man dhalla 'an sabilihii wa huwa a'lamu bil muhtadiin.
"Serulah kepada jalan (agama) Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara sebaik-baiknya, sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk".
Dari ayat di atas, pada dasarnya kebijakan dan bernurani ini tidak susah untuk dimiliki. Dan untuk mengetahui itu semua itu ada sumbernya. Sumber kearifan dan kebijaksanaan dapat datang dari :
  1. Sikap hidupnya yang siddiq yaitu orang yang sangat menyukai kebenaran, sekuat tenaga hidupnya berusaha berbuat benar dan selalu ingin membuat orang menjadi benar, semangat didalam hati akan cinta terhadap kebenaran, istiqomah dalam kebenaran dan ingin orang juga memiliki sikap yang benar maka hal tersebutlah yang membuat orang menjadi bijaksana.
  2. Sikap hidup yang amanah, rasa tanggung jawab karena hidup yang hanya sekali dan ingin mempertanggung jawabkan hidup ini baik sebagai anak, ayah, orang tua, anggota masyarakat, sikap amanah ini timbul dari dalam jiwa kita.
  3. Sikap hidup Fathonah, berwawasan luas, berilmu luas jadi begitu banyak pilihan sikap yang merupakan buah dari kecerdasan.
  4. Sikap hidup yang Tabligh adalah dapat menyampaikan sesuatu dengan baik kebenaran. Sehingga menyebabkan mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa merusak tatanan yang ada.
Nah sekarang, bagaimana Cara Menjadi Orang Yang Bijak dan Bernurani???
  1. Tidak Emosional

    hal itu berarti orang yang temperamental, mudah marah, meledak-ledak, gampang tersinggung, sulit menjadi bijaksana dan hanya dapat menjadi bijak dengan pertolongan Allah dan kegigihan usaha untuk berubah, jadi orang yang bijak dan bernurani adalah orang yang terampil mengendalikan diri. Berhati-hatilah jika kita termasuk orang yang mudah marah maka jika bertindak biasanya cenderung tergesa-gesa. Orang-orang yang emosional tersinggung sedikit akan sibuk membela diri dan membalas menyerang, ini tidak bijaksana karena yang dicari adalah kemenangan pribadi bukan kebenaran itu sendiri.
  2. Tidak egois

    orang yang egois jelas tidak akan dapat menjadi bijak dan bernurani , karena bijak itu pada dasarnya ingin kemaslahatan bersama, orang yang egois biasanya hanya menginginkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Rasulullah selalu hidup dalam pengorbanan, begitu pula Indonesia dapat merdeka oleh orang-orang yang berjuang penuh pengorbanan. Orang yang bijak adalah orang yang mau berkorban untuk orang lain bukan mengorbankan orang lain untuk kepentingan dirinya sendiri.
  3. Suka cinta dan rindu pada nasihat

    akan sangat bodoh jika kita masuk hutan tanpa bertanya kepada orang yang tahu mengenai hutan. Jika kita di beri nasihat seharusnya kita berterima kasih. Jika kita tersinggung karena di sebut bodoh maka seharusnya kita tersinggung jika disebut pintar karena itu tidak benar. Jika kita alergi terhadap kritik, saran, nasehat atau koreksi maka kita tidak akan bisa menjadi orang yang bijak. Jika seorang pemimpin alergi terhadap saran atau nasehat, bahkan memusuhi orang yang mengkritik, maka dia tidak akan pernah bisa memimpin dengan baik.
  4. Memiliki kasih sayang terhadap sesama

    Rasa sayang yang ada diharapkan tetap berpijak pada rambu-rambu yang ada seperti ketegasan. Diriwayatkan bahwa orang yang dinasehati oleh Rasulullah secara bijak berbalik menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Orang-orang yang bijak akan sayang terhadap sesama. Berbeda dengan orang-orang yang hidup penuh dengan kebencian, dimana kepuasan bathinnya adalah menghancurkan orang lain. Pemimpin sebaiknya memiliki kasih sayang yang berlimpah tidak hanya pada waktu kampanye saja. Kasih sayangnya juga tidak hanya untuk satu pihak atau kelompok melainkan merata untuk semua golongan.
  5. Selalu berupaya membangun

    Orang yang bijak tidak hanyut oleh masa lalu yang membuat lumpuh tetapi selalu menatap ke depan untuk memperbaiki segalanya. Orang yang bijak akan membangkitkan semangat orang yang lemah, menerangi sesuatu yang gelap. Jika melihat orang yang berdosa, maka ia akan bersemangat untuk mengajak orang tersebut untuk bertaubat. Orang yang bijak ingin membuat orang maju dan sangat tidak menyukai kehancuran dan kelumpuhan kecuali bagi kebathilan. Semangat orang yang bijak adalah semangat untuk maju tidak hanya untuk dirinya tetapi juga bagi orang lain disekitarnya.
Jadi di tahun ini sebagai motor pembangunan langkah bangsa kita 5 tahun ke depan, kita harus bisa jeli untuk bisa memilih seorang pemimpin yang bijak dan bernurani. Sedangkan yang dibutuhkan pada pribadi seorang pemimpin bijak dan bernurani adalah pribadi yang tidak emosional, tidak egois, penuh kasih sayang, cinta akan nasihat dan memiliki semangat terus menerus untuk membangun dirinya, ummat serta bangsa ini, dia tidak akan peduli walaupun dibalik kebangkitan yang ada dia mungkin akan tenggelam. Pemimpin yang bijak tidak peduli akan popularitas dan tidak peduli dengan adanya pujian manusia karena kuncinya adalah ketulusan dan tidak mengharapkan apapun dari yang telah di lakukan, adalah tidak akan bisa bijak jika kita mengharapkan sesuatu dari apa yang kita lakukan.

Kita hanya akan menikmati sikap bijak dan bernurani jika kita bisa memberikan sesuatu dari rizki kita, bukannya mengharapkan sesuatu dari yang kita kerjakan.

Memanusiakan Manusia atau Memanusia-siakan Manusia

Sobatku semuanya, semalam saya merenungkan sebuah hal yang sering sahabat saya sampaikan. Terasa sekali nurani saya bergetar ketika sahabat saya menyampaikan Sudahkah pendidikan kita memanusiakan manusia? Atau malah hanya memanusia-siakan manusia? Kalau sudah, kenapa masih saja terjadi tindas-menindas, perkelahian antarpelajar hingga mahasiswa, masyarakat atau mahasiswa dengan aparat di sejumlah daerah, antar warga rebut urusan tawuran yang dikarenakan masalah sepele, ribut beberapa partai politi mulai dari berebut nomor urut caleg, hingga kepengurusan partai. Sekarang jalan pintas adu fisik seolah-olah hanya menjadi tontonan biasa. Dan sikap berdialog dan berargumentasi untuk mencapai kata mufakat sudah terlupakan. Sebuah sifat merasa sebagai ”sesama manusia” sudah terabaikan.


Sebenarnya ada kesalahan di sisi mana semua ini???


Konflik memang kadang terjadi tetapi konflik juga memang harus dikelola dan dimanage dengan baik dan bijak, bukan dihindari atau malah ditakuti. Seolah-olah kesadaran sebagai makhluk sosial kita ini perlu direfleksikan kembali, modal sosial berupa gotong-royong, tolong menolong dan sebagainya, bukan dikotak-kotakkan pada kegiatan ”ritual budaya”atau "hari-hari besar dalam agama saja". Seolah begitu manis dan indah di tempat ibadah. Belum jauh kaki melangkah, sikap konsistensi akibat dari keimanan hilang begitu saja. Nilai kasih sayang dari Tuhan Yang Maha Esa Alloh SWT, tidak membekas. Terkadang bersikap memanusiakan manusia, di lain waktu dan tempat bersikap memanusia-siakan manusia.


Selain itu sekarang paham kapitalisme juga telah menggeser nilai-nilai kepercayaan dan rasa hormat terhadap manusia. Nilai trust atau faktor jaminan kepercayaan manusia selalu diukur dengan seberapa banyak materi dan benda bernilai ekonomi yang ia miliki dan kuasai. Tidak hanya di ranah bisnis atau usaha, kini juga telah merasuk ke aspek sosial kemasyarakatan. Aspek moralitas dan etika jauh terpinggirkan oleh cara-cara yang tidak adil dan culas alias curang, dan tindakan yang menafikan harkat kemanusiaan.


Kita semua sering mendengar kalau ada pepatah mengatakan bahwa tiap-tiap manusia adalah khalifah atau pemimpin. Bagaimana ia bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, apakah ia bisa bersikap adil atau sudah amanah terhadap dirinya sendiri, karena setiap manusia harus menyadari bahwa ia makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.

Terlepas dari sikap atau perilaku positif atau negatif dalam hidupnya, manusia harus menyadari ada sebuah konsekuensi dari sikapnya selama ini. Dari sikap, seseorang bisa membuat orang lain atau lingkungannya diuntungkan dan atau dirugikan. Tidak jarang pula, dari sikap seseorang yang dipahami dan diyakini masyarakat sudah dianggap melanggar asusila atau norma-norma dan budaya tertentu. Atau hukum positif yang berlaku bisa menimbulkan perselisihan dan gejolak di masyarakat.

Dalam skala kecil pun demikian, misalkan dalam rumah tangga, dibutuhkan kepemimpinan. Walau selama ini kepala rumah tangga identik “dijabat” oleh ayah atau bapak (suami), harus dipahami bahwa sebenarnya peran ibu atau mama, atau siapa saja yang dalam rumah tangga tersebut yang mempunyai rasa kepedulian dan tanggung jawab menjaga harmonisasi dan kerukunan dalam rumah tangganya, layak disebut sebagai pemimpin. Kepempinan menjadi sebuah kebutuhan, tidak hanya dalam skala kecil rumah tangga, terlebih dalam sebuah organisasi atau lembaga di masyarakat, pemerintahan, keagamaan, dunia usaha, dan sebagainya.

Ada tujuan tertentu yang ingin dicapai atau dituju, bagaimana cara merealisasikannya, siapa yang berperan dan bertanggungjawab, siapa harus berbuat, kapan, di mana, ada kesepakatan bersama yang harus ditaati, dihormati dan dijalankan.

Dari sikap keteladanan seseorang yang membawa kebaikan di lingkungannya, sangatlah pantas dan layak disebut sebagai pemimpin, dan idealnya landasan dan dasar kepemimpinan atau orang yang dipercaya sebagai pemimpin berbasis moralitas, punya jiwa kerelawanan, mengerti arti dan makna manusia, selain harus punya kemampuan atau kapasitas memimpin dan menjalankan roda organisasi.

Kepercayaan dan rasa hormat bisa tumbuh berkembang seiring dengan nilai-nilai keteladanan yang ditanamkan oleh pemimpin. Ini akan membawa dampak positif bagi organisasi atau lembaga tersebut. Berkembangnya tata nilai dalam kelompok tersebut menjadi budaya organisasi serta melembaga, akan berdampak bagi pemberi amanah atau bagi masyarakat yang mempercayakan keputusan pilihannya, sehingga timbul rasa kepemilikan, tanggung jawab untuk membesarkan organisasi, dan seterusnya.

Adanya jiwa saling menghormati, saling menghargai baik pempimpin maupun yang dipimpin. Pemimpin yang tidak dihormati atau tidak bisa menghormati dan menghargai, akan mengurangi rasa kepercayaan (legitimasi) dan hormat orang yang dipimpinnya. Dibutuhkan dan dibiasakan rasa setia kita kepada konsistensi sikap tunggal, tidak bersikap mendua yang kadang bersikap baik, kadang bersikap kurang terpuji karena, kita adalah manusia, bukan ular berkepala dua.

Ketika sikap mendua selalu menyelimuti pikiran dan diikuti, kita kehilangan kedalaman dan makna sebagai individu wujud dari makhluk sosial. Berarti, kita berhenti berpikir dan berhenti berusaha untuk berubah. Dan, yang paling penting adalah kita kehilangan rasa persaudaraan dengan orang lain. Kehilangan rasa persaudaraan dan melupakan ”memanusiakan manusia” inilah yang dapat menimbulkan konflik. Tapi, sayangnya nilai sepenting ini sering terlupakan. Lebih parah lagi, penyelesaian konflik tidak dengan menggali dan mengkaji akar persoalan.

Hubungan sebab-akibat tidak dipahami atau sengaja dibiarkan. Peran media juga terkadang hanya membaca di permukaan, dimana sorot kamera lebih mengedepankan aspek akibat daripada sebab!

Dibutuhkan keteguhan dan komitmen agar nurani kita tetap terjaga, tidak mudah tergoda ataupun terjebak untuk menapak kehidupan yang lebih beradab. "Menjadi orang penting memang baik, tetapi lebih penting menjadi orang baik". Pangkat, jabatan, kedudukan dan sejenisnya bisa kita syukuri sebagai anugerah dari Tuhan Yang Kuasa, namun kita harus sadar dan ingat nilai yang terkandung substansi dan filosofi di balik kesemua itu, yakni sebagai sebuah amanah. Pemimpin dan manusia yang ideal tidak hanya cerdas, tetapi juga ”waras”, paham dan mau memanusiakan manusia. Bukan memanusia-siakan manusia!

Pemimpin Yang Sederhana


Beberapa bulan kemarin, seakan program untuk mengentaskan kemiskinan ada banyak. Spanduk dan iklan-iklannnya begitu tersebar, nyaris menenggelamkan kota dan menyilaukan mata. Cuap-cuap para pelakunya pun begitu indah dan manis, membuat pekak telinga dan mulut jadi gatal ingin mengomentarinya.
Lalu, tiba-tiba mereka hilang. Kemana kah program-program itu sekarang? Bahkan, yang saya tahu, satu atau dua program tersebut hanya tinggal nama. Hati jadi bertanya-tanya, apakah program-program membantu warga miskin waktu itu hanya tren yang menjamur? Akankah ke depannya tumbuh “jamur” serupa?

Ujung-ujungnya, masih adakah pemimpin yang bukan hanya bisa berjanji, tapi memberi pembuktian, yang bergerak dan mengerakkan orang lain untuk berbuat bagi orang lain?

Tuhan memuliakan kita bukan karena apa yang kita miliki, melainkan apa yang telah kita lakukan. Pemimpin tidak perlu sempurna, yang penting hatinya bersih, kokoh, pandai, punya visi, bisa memimpin, bisa memotivasi bukan memanipulasi. Cukup! Masa’ sih, tidak ada satu pun yang mendekati syarat sesederhana itu?

Ini menjadi pekerjaan rumah buat kita untuk mencarinya, atau bahkan membentuk diri kita agar menjadi sosok seperti itu.
Bicara motivasi, mari kita mulai memotivasi diri sendiri dulu, meski sulit. Terkadang kita begitu bersemangat. Di waktu lain, kadang kita hidup tanpa harapan sama sekali. Tapi, di sanalah proses pembelajarannya. Ayo percepat proses itu, karena waktu tidak pernah mau menunggu. Dan, Tuhan pun hanya akan memberikan kemenangan kepada orang-orang yang siap. Harapan adalah pondasi dari sebuah motivasi. Setiap orang mempunyai sumbu yang memotivasi, meski tujuan dan caranya berbeda. Perbedaanlah yang membuat berbeda. Tapi, tak apa, biarkan saja orang orang di sekitar kita, bahkan kita sendiri, mencari cara yang berbeda untuk memotivasi diri sendiri dan orang lain, asalkan tujuannya sama.

Jangan pernah menyerah memberi motivasi kepada masyarakat

Namun, jadilah orang-orang yang mempunyai “lingkaran putih” di atas kepala, layaknya malaikat. Bukan malah menjadi orang-orang bermuka merah dengan “tanduk kepentingan” bertengger di kepala.
Kita semua adalah pemimpin, maka jadilah pemimpin yang mampu terus memotivasi kita semua. Mentari tak pernah mau menunggu. Teriakan kemiskinan mengalahkan panas sang surya, memekik telinga pemilik wajah-wajah lusuh tak berdaya, yang mencoba bercerita pada pikiran. Ketidakmampuan menyentuh hati nurani yang terjepit oleh kekuatan ego.

Masihkah kita bisa diam? Masihkah kita tidak peduli? Masih bisakah kita tidur nyenyak sementara kemiskinan semakin mendekat? Ayo bangkit, enyahkan ego! Tidak boleh lagi ada tangan mengadah. Tidak boleh lagi ada rumah yang tak nyaman. Tidak boleh lagi ada bayi yang kurus kerontang. Berempati lah!

Tuhan memberi kita waktu untuk berbuat baik, masihkah kita menyia-nyiakannya? Ini saatnya bertindak, sebelum kita akhirnya tak bisa berbuat, karena kita tidak tahu kapan “kontrak” kita dan Tuhan berakhir. Mungkin besok, atau 2 jam lagi?

Bisakah Kita Menjadi Manusia

Assalamu'alaikum wr.wb.

Sobatku yang baik, entah kenapa dalam benak nurani saya kali ini terbesit untuk meneriakkan sebuah kata yang mungkin sangat akstrim dan membuat nurani saya merinding, Bisakah Kita Menjadi Manusia?

Mungkin nurani kita semua menanyakan bahwa apakah selama ini kita bukan manusia? Entah,,, saya sendiri belum bisa menjawabnya, dan saya sendiri belum merasa bahwa saya bisa menjadi manusia. Namun sebuah refleksi nurani kita, saya teringat akan sebuah kata bijak yang mengungkapkan bahwa “Tugas manusia adalah menjadi manusia."
Melihat hal ini sebenarnya manusia, sebagaimana makhluk lainnya, manusia adalah cermin Tuhan di dunia. Dalam hadis qudsi disebutkan bahwa Dia adalah khazanah tersembunyi, yang karena ingin dikenal kemudian menciptakan makhluk. Tentu maknanya bukan pertanda kebutuhan Tuhan akan makhluk-Nya. Sebaliknya, penciptaan adalah karunia terbesar yang dengannya makhluk “menjadi eksis”.
Kejadian manusia adalah simbol praktis kasih sayang Tuhan. Karena kasih sayang-Nya, manusia yang awalnya tidak ada menjadi bernilai. Semuanya bergantung penuh kepada Tuhan, mustahil lepas dari-Nya, sampai kapan pun.

Apabila dikaitkan dengan syukur, bentuk paling utama pengungkapan rasa syukur kita adalah menyesuaikan seluruh perilaku kita dengan apa-apa yang telah digariskan-Nya. Dalam kefitrian, kita terbimbing untuk melaksanakan kasih sayang itu adalah dengan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan kepada sesama manusia dan seluruh alam.
Sesungguhnya, tidak ada yang luar biasa ketika kita harus mencintai sesama, membela kaum tertindas, memelihara fakir miskin dan menentang segala bentuk kezaliman. Sebab manusia itu cermin Tuhan.

Sayang, setelah eksis, manusia merasa independen, untuk kemudian berlaku seperti kacang lupa pada kulitnya.Karena menganggap diri sebagai pusat kosmos, mulailah kita berlaku sombong dan merendahkan makhluk lainnya. Baik buruk sebuah perilaku dinilai melulu dari perspektif subjektif kita. Kalau kita berkuasa, kebenaran adalah milik kita dan menentangnya adalah kesalahan. Kalau dibawah, demi menjaga kedudukan, kita menjilat penguasa. Sambil terus menginjak yang di bawah. Maka kita tidak peduli dengan jerit tangis orang yang lebih rendah dari kita. Kita tidak peduli dengan kejahatan penguasa. Kalau kita senang, itu berasal “murni usaha kita”; kalau orang lain susah, itu “memang nasibnya”. Saat kita susah dan menderita, Tuhan hadir sebagai kambing hitam. Di saat kita bahagia dan merasa aman, Tuhan kita letakkan begitu saja. Entah di mana.

Pembenaran selalu ada mengiringi setiap laku. Sebab kita tidak mau disalahkan. Kejahatan yang kita lakukan terhadap sesama dianggap dapat dicuci dengan sekadar sedekah dan beberapa ritual.

Seringkali kesalehan ritual mengunci mati rasa kita. Setelah terlaksana, segala tanggung jawab selesai. Tuhan dianggap sudah puas melihat segala laku ibadah kita. Padahal reritualan yang kita jalankan adalah bagian dari rutinitas. Setelah seluruh tenaga dan konsentrasi habis untuk memperkuat posisi keduniawian kita. Kita selalu berkonsentrasi dengan pekerjaan dunia kita. Dan konsentrasi kita terlalu sering buyar dengan hanya ibadah beberapa menit.

Pada saat yang sama kita tidak ragu untuk berbuat maksiat dan kezaliman. Kita menganggap itu bukan wilayah Tuhan. Atau kita punya pembenaran lain atas nama Tuhan. Manusia itu adalah tempatnya lalai dan dosa”, demikian sebuah ayat suci. Dan kita selalu mentolerir perbuatan dengan memelintir ayat suci ini.

Maka kita tidak ragu untuk menjual diri dan terus korupsi. Kita tidak malu memperturutkan nafsu berkuasa kita, meskipun mengorbankan rakyat. Kita tidak takut untuk mempermainkan ayat-ayat Tuhan.
Kita memang sudah sakit jiwa.

Jika waktu kita tertutup untuk kembali kepada Tuhan, kita akan tenggelam dalam kerusakan dan kelalaian.

Sesungguhnya, langkah pertama adalah senantiasa sadar dan bangkit dari kesadaran. Akan tetapi, hingga saat ini, kita masih tidur nyenyak. Mata kita terbuka, tetapi hati kita terlena dalam tidur yang berkepanjangan. Sekiranya bukan sebab banyaknya melakukan dosa, niscaya tidak demikianlah akibatnya. Kita tidak berpikir bahwa semua benda yang maujud ini akan kembali dan dihisab. Segala sesuatu yang terbatas pasti berubah dan akan mengalami kehancuran.


Tidak ada kelonggaran di sisi Allah. Di antara kebahagiaan manusia adalah bahwa ia tidak diuji dengan penyakit yang tidak dirasakannya. Sakit yang diderita tubuh mendorong kita untuk berobat ke dokter. Namun, penyakit yang tidak disertai rasa sakit lebih berbahaya ketimbang sakit yang langsung terasakan. Penyakit-penyakit hati atau jiwa hampir bersifat seperti ini.


Kelalaian, keangkuhan dan setiap maksiat yang merusak hati dan ruh tidak terasakan sakitnya oleh tubuh. Padahal penyakit ini lebih parah. Malah kadang kita lebih menikmatinya.


Cinta dunia dan cinta diri adalah sumber asasi setiap dosa, pokok setiap kejahatan, pintu setiap malapetaka, lubang setiap fitnah dan penyeru setiap kedurjanaan yang dirasakan oleh manusia dengan perasaan nyaman dan enak. Jika penderita penyakit diberitahukan bahwa sebenarnya ia sakit, niscaya ia akan membantahnya.
Apabila seseorang tidak pernah mendidik dirinya dan tidak luput dalam dirinya kecenderungan duniawi, maka dia akan merasa takut meninggalkan dunia. Hatinya penuh dengan dendam terhadap Allah dan penolong-penolong agama-Nya. Dan apakah manusia semacam ini merupakan sebaik-baik makhluk, ataukah seburuk-buruk makhluk?

“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati dalam hal kesabaran”.


Pengecualian yang terdapat dalam surat ini adalah orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Amal saleh merupakan amal yang dilaksanakan dengan ruh (keikhlasan). Tetapi kebanyakan amal-amal kita hanya dilakukan dengan anggota indera tanpa kandungan pesan-pesan seperti yang tersebut dalam surat suci itu.

Manusia seperti ini senantiasa akan melakukan maksiat siang dan malam. Ia sukar menyucikan hati sementara usianya semakin lanjut. Semakin lama manusia terlena berbuat dosa, cermin bening dihatinya sedikit demi sedikit ternoda dan menghitam. Bila hal ini terus berlanjut, ia akan berada pada satu keadaan di mana berbuat kejahatan lebih dinikmati ketimbang berbuat kebaikan.

Ketika kejahatan menjadi kebiasaan, kebaikan tidak lagi dianggap. Ketika Tuhan telah kita singgirkan dari dalam diri, kita tempatkan mahkluk lain sebagai pengganti-Nya. Ketika kita mengganti kedudukan-Nya dengan selain-Nya, sempurnalah kemusyrikan kita.


Sudah saatnya kita kembali kepada kemanusiaan kita yang fitri. Selama ini, segenap perilaku kita ternyata tidak menunjukkan bahwa kita ini manusia. Kesadaran diri bahwa kita adalah manusia yang sepantasnya berbuat sesuai dengan kemanusiaan kita adalah pembenahan paling awal. Selanjutnya, penghancuran ego, sedikit demi sedikit, harus dijadikan komitmen abadi. Ego yang menganggap diri kita lebih dari yang lain. “Tidak akan masuk surga seorang hamba yang di dalam hatinya masih ada secuil kseombongan.”


Dikisahkan dalam sebuah hadis, seorang pelacur melihat seekor anjing yang kehausan. Ia masuk ke dalam sumur, menjadikan sepatunya sebagai wadah untuk kemudian diminumkan kepada anjing tersebut. Atas perbuatan ini, pelacur itu masuk surga. Orang yang mendengar menilai bahwa kisah ini adalah bukti kasih sayang Tuhan, sehingga seorang pelacur pun dapat masuk surga.

Hal itu benar. Tetapi, ada hal yang lebih substansial. Ketika pelacur itu memberikan minuman kepada anjing, ia berkata, “Ya Allah, betapa mulia anjing ini. Ia sadar dengan keanjingannya, sedang aku tidak sadar dengan kemanusiaanku.” Kesadaran bahwa betapa dirinya demikian hina, bahkan bila dibandingkan oleh seekor anjing, membuatnya masuk ke surga.


“Barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya”

Demikian sebuah hadis menyatakan seperti itu. Manusia adalah cermin Tuhan. Kasih Tuhan harus kita terjemahkan dan bumikan ke seluruh alam. Indikasi utama terlaksana tidaknya pembumian kasih itu adalah dengan menerapkan keadilan yang menjunjung tinggi harkat kemanusiaan.


Manusia adalah cermin Tuhan. Cermin adalah subjek pasif. Kedudukan setiap cermin adalah sama dan sejajar. Sempurna tidaknya sebuah cermin tergantung sejauh mana ia dapat memantulkan kesempurnaan Subjek sesungguhnya, yaitu Tuhan. Refleksi kebertuhanan individu berbanding lurus dengan sejauh mana ia dapat menjadi media bagi menyebarnya kasih Tuhan di dunia.

Semoga senantiasa kita selalu bisa belajar dan selalu belajar dalam sisi kemanusiaan kita semua, agar pertanyaan Bisakah Kita Menjadi Manusia, itu kita bisa dengan lantang dengan menjawab "BISA".

Tips Meningkatkan Keyakinan Diri

Sobatku yang baik, kali ini saya mencoba untuk belajar bagaimana saya bisa meningkatkan keyakinan diri yang ada dalam nurani ini. Entah, seolah cahaya nurani ini kadang bersinar terang meredup atau bahkan malah mati. Ketika kita mencoba belajar sejauh mana kita bisa meningkatkan keyakinan diri ini saya teringat akan sebuah hadis :
"Wahai hamba-Ku, sesungguhnya telah Aku haramkan kepada-Ku untuk berbuat zalim, dan mengharamkan pula kepada kalian perbuatan zalim. Karena itu, janganlah kalian saling menganiaya diri kalian. Wahai hamba-Ku, kalian seluruhnya sesat kecuali orang yang telah Aku beri hidayah. Karena itu, mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya kalian akan Aku beri petunjuk, dengan keyakinan bahwa Allah akan memberikan apa saja jika kita yakin memintanya, tanpa sedikit pun keraguan dalam dirinya."
(HR Muslim, Ibnu Hibban, dan Hakim).

Banyak orang diantara kita atau malah mungkin kita sendiri yang tidak menyadari bahwa kita edang menzalimi diri dan penciptanya; Allah SWT Tuhan semesta alam. Kita terus meminta kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup, tanpa disertai keyakinan bahwa Allah akan memberikan apa yang diminta.

Semalam saya sedikit mendapatkan pencerahan dalam sebuah forum pengajian rutinan, sahabat saya berkata bahwa Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Seorang hamba yang yakin akan pertolongan Allah, maka dengan sangat meyakinkan pula Allah akan menolongnya. Seorang hamba yang yakin bahwa doanya akan dikabulkan, maka Allah akan mengabulkan doa-doanya tersebut lebih dari yang ia minta.

Andaikan kita ragu akan pertolongan Allah, dan lebih yakin akan kemampuan diri atau pertolongan makhluk, maka yakinlah bahwa hidup kita tersebut akan penuh dengan kekecewaan. Siapa saja yang hidupnya ingin selalu dilindungi dan dimudahkan semua urusannya, namun ia tak pernah bersungguh-sungguh meningkatkan mutu keyakinannya pada Allah, maka keinginannya tersebut hanya angan-angan belaka.

Nah pertanyaannya yang muncul buat kita adalah Bagaimana cara kita meningkatkan keyakinan diri?
Ada tiga tahapan yang harus kita lewati dalam usaha meningkatkan kualitas keyakinan diri.
Pertama, 'ilmul yaqin. Yaitu meyakini segala sesuatu berdasarkan ilmu atau pengetahuan. Misal, di Makah ada Kabah. Kita percaya saja karena teorinya seperti itu.

Kedua, 'ainul yaqin. Yaitu keyakinan yang timbul karena kita telah melihatnya dengan mata kepala sendiri. Orang yang telah menunaikan ibadah haji sangat yakin bahwa Kabah itu ada karena ia telah melihatnya. Keyakinan karena melihat, kualitasnya akan lebih baik dibandingkan dengan keyakinan karena ilmu.

Ketiga adalah haqqul yaqin. Orang yang telah haqqul yakin akan memiliki keyakinan yang dalam dan terbukti kebenarannya. Orang yang telah merasakan nikmatnya thawaf, berdoa di Multazam, merasakan ijabahnya doa, akan memiliki keyakinan yang jauh lebih mendalam dari dua keyakinan sebelumnya. Inilah tingkat keyakinan tertinggi yang akan sulit diruntuhkan dan dicabut dari hati orang yang memilikinya.

Cara meningkatkan kualitas keyakinan diri, sejatinya harus melalui proses dan tahapan-tahapan, mulai dari 'ilmul yaqin, 'ainul yaqin, hingga haqqul yakin.

Semua yang ada di dunia ini adalah milik Allah. Maka, rugilah orang-orang yang hatinya bergantung pada selain Allah. Yakinlah, bahwa Allah adalah Dzat Yang Maha Mengatur segalanya. Sayangnya, kita sering mengatakan bahwa Allah itu Mahakaya, tapi kita sering takut tidak mendapatkan rezeki. Kita tahu bahwa Allah itu Maha Menentukan segala sesuatu, yang Menciptakan manusia berpasang-pasangan, tapi kita sering risau tidak mendapatkan pasangan hidup. Bila demikian, kita masih berada dalam tingkat 'ainul yaqin dan belum sampai ke tingkat haqqul yaqin.

Mengapa ada orang yang keluar dari Islam (murtad)? Sebabnya, keyakinan yang ia miliki baru sebatas 'ilmul yaqin; sebatas tahu. Ternyata, yakin kepada Allah hanya sebatas ilmu tidak cukup untuk membuat kita istiqamah. Keyakinan kita harus benar-benar meresap ke dalam sanubari. Cahaya keyakinan yang tersimpan di dalam hati seorang hamba ternyata datang dari khazanah kegaiban Allah Azza wa Jalla. Alam semesta ini terang benderang karena cahaya dari benda-benda langit yang diciptakan-Nya. Sedangkan cahaya yang menerangi hati manusia berasal dari cahaya Ilahi.

Ibnu Atha'illah dalam Hikam bertutur, "Nur yang tersimpan di dalam hati, datang dari cahaya yang langsung dari khazanah-khazanah kegaiban. Nur yang memancar dari panca indramu berasal dari ciptaan Allah; dan cahaya yang memancar dari hatimu berasal dari sifat-sifat Allah".

Dengan demikian, keterbukaan hati dalam menerima cahaya nurani inilah yang harus selalu kita jaga. Mulailah kita usahakan untuk selalu dapat mengenal hikmah di balik setiap kejadian. Jangan hanya melihat setiap kejadian dengan mata lahir saja, tapi gunakan mata hati kita. Namun, mata hati tidak akan berfungsi dengan baik, kalau selalu dikotori dengan kemaksiatan dan dosa.